Ke pesisir menengok "Petilasan Wak Item" ?
![]() |
| ilustrasi perebutan Sunda Kelapa |
Sabtu pagi dan tempat tidur adalah sahabat karib yang susah untuk dipisahkan. Agak susah untuk melewatkan kombinasi sempurna mereka. Tapi hari sabtu 22 Juni ini adalah HUT Jakarta, kota tempat aku menghabiskan hampir separuh hidup. Dengan mata setengah mengatup, segera beranjak, menyabet handuk, mengguyur kepala, bersiap ke stasiun.
Tahun ini adalah tahun pertama kota Jakarta berulang tahun, setelah purna tugas sebagai ibu kota negara selama 60 tahun sejak di tetapkan tanggal 22 Juni 1964 silam. Keluar Stasiun Jakarta Kota, hiruk pikuk puncak perayaan sudah terasa, di masa pensiunnya tidak membuat kota Jakarta jadi berubah.
Bersama mas Reyhand dan beberapa kengkawan dari kamunitas @NgopiJakarta kami berjalan menembus Lapangan Fatahillah (dulu Stadhuisplein) yang nanti malam diadakan Jakarta Light Festival dengan atraksi Video Maping pada gedung Meseum Fatahillah (dahulu Stadhuis). Melewati jalan kunir, jembatan kota intan.
Kami berhenti sejenak di sudut jalan cengkeh, di tempat tersebut pada tahun 1912 ditemukan prasasti berbentuk balok batu atau Padrao. Prasasti perjanjian dagang dan militer antara kerajaan Pajajaran dan Portugis, yang nantinya menjadi pemicu aksi aksi sesudahnya, sekaligus embrio bagi Jakarta yang keras.
Rombongan lalu berbelok ke kanan melewati kolong Tol Pelabuhan menyusuri samping kali krukut di belakang gudang tua VOC, melewati tugu obeliks dan jangkar, sebelum sampai ke tujuan pertama #ngojak41 Menara Syahbandar (Oud Uitkijkpost) di jalan Pakin.
![]() |
| Menara Syahbandar dibangun tahun 1645 |
Menara Syah Bandar menjadi salah satu bagian kawasan Museum Bahari, Menara setinggi 18 meter itu masih berdiri dengan tegak dan terawat walau karna gempuran usia, penurunan muka tanah, juga getaran lalu lintas kendaraan berat yang ramai melintas didepannya, membuat menara miring kearah selatan 2,5 derajat. Sayang kita tidak bisa naik menara dan berlagak menjadi Syahbandar mengawasi hilir mudik kapal keluar masuk kota Batavia dari menara pantau tersebut, kesibukan HUT Jakarta sepertinya jadi akses pintu ke menara dikunci.
Kami hanya bisa menikmati menara sinyal yang berada disebelahnya. Dahulu ketika kapal / orang-orang masuk dari Pelabuhan Sunda Kelapa akan menyesuaikan waktu dengan melihat bola waktu yang ada di menara sinyal. Di dalam Menara Sinyal. Selain papan informasi tentang Garis Meridian, titik nol Meridian, yang mengherankan, ada dua prasasti beraksara china di situ.
Arkeolog asal Belanda Arnold Haag dalam penelitiannya mengungkap prasasti itu berukuran 50 x 56 cm itu berisi keterangan bahwa Meredian Utama dan Garis Bujur Asal (nol) melewati titik ini. Prasasti kedua adalah sebuah nisan seorang kepala keluarga bernama "Huang Chi Weng" .
Ada 2 buah meriam kuno bertengger di ceruk tembok tebal menghadap ke stasiun pompa Pasar Ikan dan Pelabuhan Sunda Kelapa. Kehadiran dua meriam tadi tidaklah aneh karena Menara ini berdiri di bekas Bastion Culemborg, salah satu dari kubu pertahanan di sisi barat tembok kota Batavia. Berada diatas sebuah bastion lengkap dengan meriam, imajinasi serasa ditarik ke peristiwa peristiwa beberapa abad kebelakang. Pemberontakan buruh cina (geger pacinan) yang dimulai dari luar tembok kota batavia. Penyerangan Pasukan Mataram Sultan Agung dari sisi timur tembok kota. Penaklukan Jayakarta oleh VOC yang diperkirakan letak istana Jayakarta hanya berjarak sekitar 650m dari lokasi menara (sekarang hotel mercure). Dan kisah seorang Syahbandar Pelabuhan Sunda Kelapa bernama Wak Item.
Sosok Wak Item, sependek yang saya tahu menjadi populer sejak budayawan betawi Ridwan Saidi (RS) memprotes tanggal HUT Jakarta yang merujuk kemenangan Fatahillah / Pangeran Jayakarta saat merebut Sunda Kelapa dengan menewaskan Wak Item dan 20 punggawanya. Penaklukan tersebut bukanlah melawan Portugis tapi sesama muslim di Kalapa karena Armada Portugis terlambat datang ke Sunda Kelapa. Protes tadi seiring dengan ketidak setujuannya dengan teori Lance Castles yang memgatakan suku Betawi adalah hasil peleburan berbagai etnis yang dahulu didatangkan Kolonial Belanda sebagai budak. Babe Ridwan berpendapat suku Betawi Muslim sudah ada jauh sebelum VOC bercokol di nusantara. Dia berpedoman pada naskah sunda kuno "Lalampahan Bujangga Manik", diperkirakan ditulis sekitar abad 14 s/d abad 15 tentang eksistensi Pelabuhan Kalapa, Bujangga Manik salam catatan perjalanan mengelilingi pulau Jawa dan Bali tadi juga menyebutkan Urang Kalapa (atau betawi) ameng layaran, berjiwa laut.
Babe Ridwan juga memperkuat asumsinya dengan tulisan Nyai Dawit : "Sanghyang Siksha Kandang Karesian", yang dalam laporan perjalannya dari Ke Karawang dan Sunda Kalapa tersebut, Resi Wanita dari Sunda Pajajaran ini dengan kecewa menceritakan perkembangan Islam dengan banyaknya berdiri langgar. Kaum langgara (Muslim) ada pimpinannya.
Babe Ridwan Saidi berasumsi saat itu Penaklukan Sunda Kalapa oleh Fatahillah, dengan menewaskan Wak Item dan 20 orang punggawa kemudian dibuang kelaut adalah agresi terhadap sesama muslim, sehingga tidak layak diperingati sebagai hari jadi Jakarta.
Wak Item disinyalir adalah Syahbandar Sunda Kelapa dari kerajaan Tanjung Jaya (Vasal Kerajaan Sunda Padjajaran). Wak Item ikut menandatangi kerjasama dagang dan militer dengan Portugis, menurut RS beliau menandatangani dengan huruf arab وخ "wauw" dan "koth" yang mencirikan beliau beragama Islam. Perjanjian yang diabadikan dalam Padrao tadi.
![]() |
| Prasasti Padrao dari tahun 1522 |
Namun Cerita Wak Item dan Fatahillah direvisi sendiri oleh Babe Ridwan. dalam catatannya yang saya baca di website Hallo Jakarta, kali ini beliau mengambil referensi Babad Cirebon yang mengatqkan serangan Fatahillah di Pasar Pisang dapat digagalkan, Fatahillah terluka dan melarikan diri dari tanah betawi sakit ke.uduan meninggal. Sedang Wak Item yang terkenal dengan golok panjang bersarunh emas dan baju hitam hitam itu terus berkuasa di Pelabuhan Kalapa, Mengembangkan Silat Syahbandar di Betawi. Dqn di desa Wanayasa, Purwakarta tempat Beliau meninggal dan dimakamkan.
Tapi cerita lain menuturkan aliran silat sahbandar di tanah Purwakarta ini justru dibawa oleh seorang pengembara dari Minangkabau. Nama aslinya adalah Mohammad Kosim, dilahirkan di Pagaruyung, Sumatera Barat pada tahun 1766, Yang mengasingkan diri kesana karena berselisih dengan VOC.
Ah... Sungguh rumit dunia persilatan ini.
Harus nunggu mas @Reyhand mensilikidi silat syahbandar, setelah kemarin pecah telor ngulik silat beksi dan tokoh tokohnya.



Komentar