Diaspora Tambora di pinggir kali Cideng

 

Masjid Jami Tambora  - photo : eva EfLu²K

Riuh Mobil dan Motor lalu lalang seolah tanpa henti di ruas jalan yang berada di sebelah barat kali Cideng ini. Meski sudah memasuki  bulan puasa dan matahari sangat bersemangat, geliat aktifitas warga tetap membuat sesak jalan kawasan Tambora Jakarta Barat. Julukan kampung terpadat se Asia Tenggara sudah terasa dari ditepi kawasan. Sekitar 20 orang tampak jalan mengular, para penelusur kepingan masa lalu ngopi@jakarta, harus berbagi dengan dengan berbagai ragam kendaraan. Tujuan pertama mereka Masjid Jami Tambora  yang dibangun tahun 1761.

Peserta Ngojak Ngabuburit Tambora  photo : Reyhand B

Kawasan Tambora diperkirakan sudah menjadi tempat tinggal warga asal pulau Sumbawa hampir 100 tahun  sebelum masjid Tambora dibangun. Ada beberapa versi tentang kedatangan mereka ke daerah yang dulunya disebut Angke Duri ini.

Pertama setelah Raja Abdul Basyir dibuang VOC ke Afrika, Raja penerusnya Damala Daeng  Mamangon sekitar tahun 1709 banyak mengirim lelaki asal Tambora ini ditempatkan di benteng (fort) Vijfhooek Barat Batavia sebagai pasukan pribumi. Setelah selesai berdinas tampaknya banyak yang enggan kembali ke kampung halaman kemudian mereka membentuk perkampungan dekat benteng Vijfhooek yang kemudin dikenal dengan kampung Tambora.
 
Versi lain menyebutkan, Raja Bima ke-3 Nuruddin Abubakar Ali Syah pada tahun 1674 membantu Trunojoyo dari Madura menyerang Kerajaan Mataram (Amangkurat II) namun kemenangan mereka hanya sesaat, Pasukan Belanda dibantu Arung Palaka dan Kapten Yongker berhasil mengalahkan aliansi Trunojoyo. Sultan Nuruddin meneruskan perjuangannya ke Banten bergabung dengan Sultan Ageng Tirtayasa, konflik internal Raja Banten dengan anaknya Sultan Haji menjadi perlawanan kepada VOC kembali gagal. Situasi tersebut membuat Sultan Nuruddin bersama 19 anggota laskar ditangkap oleh Belanda dan ditahan (1683). Tempat tawanan laskar itu, sampai sekarang dikenal dengan “Tambora“. Ada yang sedikit mengganjal tentang versi ini, harusnya nama kampung "Bima" lebih cocok dipakai karena Kerajaan Tambora sudah menjadi wilayah yang terpisah dengan Kerajaan Sumbawa sejak tahun 1677.

Makam Ki Daeng dan H. Moestodjib  - koleksi pribadi


Versi ke-tiga seperti yang diceritakan oleh Uztad Hari ketua DKM Masjid Jami Tambora yang menyambut peserta Ngojak Ngabuburit 23 Maret 2024 lalu. Uztad Hari menyampaikan kawasan Tambora terbentuk bermula sekitar tahun 1756. Ki Daeng dan H. Moestodjib diseret ke Batavia oleh Belanda untuk kerja rodi selama 5 tahun setelah kalah perang melawan kerajaan Taliwang. Setelah hukuman selesai mereka tidak diijinkan kembali ke Sumbawa. mereka menetap di kampung Duri Angke, lalu bersama ulama setempat mendirikan Masjid yang kemudian dinamai Masjid Tambora.
Dua makam tokoh KH Moestojib dan Ki Daeng di sisi selatan-depan masjid memperkuat cerita uztad Haris tadi.

Tahun 17 April 1815 Gunung Tambora meletus hebat. Ledakan yang memusnahkan 3 kerajaan di Pulau Sumbawa, bahkan efeknya meluas mempengaruhi iklim dunia.  Tercatat, pada tahun 1816, sebagian dunia sejauh Eropa barat dan Amerika Utara bagian timur mengalami periode salju lebat secara sporadis dan membekukan embun beku selama bulan Juni, Juli, dan Agustus, menggagalkan banyak panen. Konon anomali iklim ini sangat mempengaruhi  kegagalan Napoleon saat pertempuran di Waterloo.
Lantas apakah orang Tambora yang selamat dari letusan gunung Tambora telah dievakuasi ke perkampongan Tambora di Batavia?. Pada tanggal 22 April, kapal Dispatch yang tengah berlayar dari Amboina tiba di lokasi yang tidak jauh dari letusan gunung Tambora. Petugas mengalami kesulitan besar dalam pendaratan di teluk, yang mana seluruh teluk dipenuhi batu-batu apung, arang dan gelondongan kayu. Rumah-rumah tertimbun oleh abu.
Komandan ekspedisi dari Makassar tersebut adalah Capt. Eatwell dengan kapalnya Benares (lihat De Curaçaosche courant, 05-04-1816). Menurut laporan ekspedisi tidak ada makhluk hidup termasuk penduduk yang selamat di sekitar gunung Tambora.

Berlanjut ke kampung tanpa matahari




Komentar

Arie Vidi mengatakan…
Terimakasih atas tulisannya. Jelas dan sangat jarang orang mengulas diaspora "Tambora" di Jakarta. Kudos!
nico mengatakan…
Terima kasih mas Vidi

Postingan populer dari blog ini

Cinema Paradiso (1988) Hitam dan putih sebuah kenangan

Ibuku Sayang

Paitun Gundul seorang legenda Urban di Kota Malang